Senin, 18 Maret 2024

Kata Bapak

Gemintang langit adalah favoritku. Dari 24 jam waktu di bumi, malam hari adalah waktu terbaik menurutku. Andai teras rumah tidak sedang direnovasi, mungkin aku sekarang sudah duduk di sana membawa kopi panas di mug kesayanganku. Layaknya melihat bulan dari teleskop, merenung di depan teras adalah kesempatan yang tidak boleh terlewatkan. Rasa kemanusiaan dengan otak kadang kala tidak sejalan. Dibutakan oleh ambisi dan didongakkan oleh ekspektasi. Menepis segala realita yang melayang di pelupuk mata dan nurani. Rasa syukur terganti dengan pongah yang tercetak jelas di atas dahi. Bila tak sesuai dengan harapan, yang disalahkan adalah Tuhan. Tidak adil katanya. Hahh... Dunia benar benar sudah tidak waras sekarang.

Benar kata bapak, kebahagiaan manusia tidak dilihat dari kaya-miskin, baik-buruk, sempurna atau cacat. Kata bapak, bahagia adalah syukur.

"Gini, nduk, sekaya apapun seseorang, kalau tidak pernah bersyukur dan tidak pernah puas dengan apa yang dia dapat, ingin lebih dan lebih lagi, hidupnya tidak akan tenang, nduk. Begitu juga dengan semiskin apapun seseorang, kalau selalu bersyukur, berserah diri, dan berusaha sebaik yang dia bisa, Tuhan akan luluh, nduk. Tuhan maha melihat, kebahagiaan pasti akan datang kepadanya yang bersyukur terhadap Tuhan. Tuhan sudah memberi kita porsi bahagia masing-masing, tergantung dari mana kita melihat dan dimana kita memposisikan diri kita. Jadi tidak perlu khawatir. Semua sudah diatur oleh Tuhan. Tuhan yang memberikan masalah, Tuhan juga yang akan menuntun kita untuk menyelesaikannya. Ingat untuk selalu bersyukur saja,” kata bapak saat aku bertanya kenapa dunia tidak adil dengan menciptakan orang kaya dan orang miskin.

Dulu sekali, seperti gadis desa lainnya, aku adalah orang yang selalu patuh dengan petuah petuah kehidupan orang tuaku. Sebagai rakyat biasa, aku selalu bersinggungan dengan rakyat kecil di sekitarku, apalagi latar belakang Bapak yang seorang pemimpin di daerahku. Walau pemimpin kecil, bagiku Bapak adalah seorang pemimpin yang hebat. Namun, kata bapak jadi pemimpin itu susah, apalagi pemimpin kelas bawah.

"Jadi pemimpin kelas bawah itu susah, nduk, mikul beban yang paling berat, apalagi beban mental. Hubungannya langsung dengan masyarakat, terutama masyarakat-masyarakat kecil," kata bapak waktu itu

Ibarat tombak, pemimpin kelas bawah itu ada di ujung. Jika tombak dilesakkan, bagian pertama yang tertancap pasti bagian ujung.

Bapak termasuk orang kritis. Walaupun Bapak hanya tamatan SD, Bapak dapat memandang dunia dengan berbagai macam sisi. Ibaratnya bapak adalah manusia yang ditempa oleh pengalaman. Terbukti saat aku bertanya pada Bapak mengapa Indonesia adalah negara makmur yang tidak makmur, dengan yakin Bapak berkata bahwa Indonesia itu indah, apapun ada di Indonesia. Indonesia itu kaya, Indonesia itu makmur. Banyak sumber daya yang bisa dimanfaatkan di Indonesia. Tapi, kata Bapak, dari lima dasar pancasila hanya satu yang belum terwujud, yaitu sila ke-5.

"Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, kamu tahu kenapa bapak berani bilang gitu, nduk? Bapak ini pemimpin kelas bawah, sudah hafal keluhan masyarakat. Bapak sering makan utuh tangisan masyarakat nduk, apalagi masyarakat kecil disekitar kita. Kasihan sekali," kata bapak sembari terus menatap televisi saat mengisahkan berita DPR yang semakin menjadi-jadi.

Sedangkan Ibu adalah seorang yang lemah lembut dan mampu melakukan apapun demi anak anaknya. Ibu adalah segala-galanya bagi aku dan mbak. Ibu adalah panutanku dan contoh nyata saat aku menjadi dewasa nanti. Ia adalah ibu terbaik yang kami syukuri kehadirannya. Ibu termasuk seorang yang naif di dunia yang sudah rusak ini. Ibu bahkan sering mempersilahkan dan memberi makan pengamen yang mengamen di depan rumah. Saat aku tanya alasannya, jawaban yang Ibu berikan membuatku sangat tertohok.

"Ya, siapa tau aja, nduk. Kalau ibu sudah tidak ada, masih banyak yang mendoakan ibu karena kebaikan ibu ini. Kamu juga harus begitu, nduk. Jangan pongah jadi manusia. Kita sama-sama berasal dari tanah, kembali juga ke tanah. Jangan berlagak setinggi langit. Harus andhap asor dan peduli dengan sekitar."

Lahir dikeluarga yang memiliki kepekaan tinggi adalah sebuah tantangan tersendiri. Kadang kala menyenangkan, tapi juga penuh dengan pengekangan. Relevansi antara pemikiran anak dengan orang tua seringkali tidak sejalan. Sangat menggelitik hati saat mengingat pemberontakan yang pernah terjadi. Ingin tertawa juga ingin menangis rasanya. Ibarat satu set cat warna yang tumpah, emosi yang kurasakan saat itu benar benar campur aduk.

Masa itu adalah masa yang penuh drama kurasa. Saat terjadi pertentangan pendapat antara si tua dan si muda akan menjadi hal yang menakutkan bagi setiap orang. Semua serba salah, terutama untuk si muda. Mengikuti kata si tua sama dengan membuang keinginan, membantah si tua juga akan menjadi masalah besar, 'kualat' katanya.

Namun, tekad tetaplah tekad. Ambisi tetaplah ambisi. Pada dasarnya Aku dan bapak adalah orang yang sama sama terlahir dengan keras kepala. Saat itu aku sangat berkinginan untuk menjadi orang yang hebat. Tak perlu kaya untuk menjadi orang besar. Hidupmu bermanfaat untuk orang lain itu sudah lebih dari cukup.

Menjadi psikiater adalah impianku sejak aku mengenal rasa sakit. Bukan sakit karena terjatuh secara fisik. Tapi, ini adalah sakit yang berbeda. Tidak ada definisi tertentu. Tapi aku yakin tidak semua orang memahaminya. Memang aku tidak merasakannya secara langsung. Tapi saat aku melihat temanku yang putus asa hingga berkeinginan untuk menentang kehendak Tuhan dengan mengakhiri hidupnya. Entah kenapa hatiku tergerak untuk merengkuh. Rasanya sangat tidak nyaman dan menyesakkan.

Namun, takdir bekata lain. Dengan keras bapak menolak keinginanku. Berdalih bahwa setinggi apapun karir seorang wanita, kodratnya hanya untuk berada di rumah dan mengurus keluarga. Bagaimanapun aku mengorasikan keinginanku untuk kuliah diluar provinsi dan menjadi seorang psikiater hebat. Lagi dan lagi bapak akan terus menolak dan menciptakan alibi alibi lain.

"Sudahlah nduk. Kamu mau kuliah di manapun semuanya sama. Lulus kuliah juga sama sama bertitel sarjana. Yang dekat dekat saja, tidak baik anak perempuan jauh dari rumah. Ikuti mbak mu saja kerja di kantor. Toh masa depanmu juga lebih terjamin," alibi yang bapak lancarkan kepadaku.

Muak rasanya jika terus terusan dikekang seperti itu. Sudah tidak bisa bergerak, sulit untuk bernapas pula. Ingin bebas tapi tidak ada uluran tangan. Ingin lari tapi tidak memiliki tenaga. Namun, aku bersyukur punya ibu yang menjadi penopang untuk anak anaknya. Melapangkan hati anak anaknya dan membuka lebar mata anak anaknya.

"Bapakmu bilang seperti itu karena sayang sama kamu nduk. Bapakmu takut terjadi sesuatu saat kamu tinggal di kota orang. Bapak mau kamu terjamin dengan ikut mbak kerja di kantor setelah lulus kuliah. Tidak perlu susah susah cari kerja lagi," kata Ibu mencoba melapangkan hatiku.

Tapi tetap saja, keras kepala adalah nama tengahku. Pertengkaran hebat terjadi antara aku dengan bapak. Selama 17 tahun hidupku, ini adalah kemarahan terbesar Bapak yang pernah aku lihat. Juga untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku berani membentak ciptaan Tuhan yang menjadi idolaku tersebut.

"Sekarang gini. Kalo disuruh pilih yang baik dan yang terbaik. Apa salah kalo aku pilih yang terbaik! Apa salah aku berusaha dapet yang terbaik! Kata bapak jadi orang kecil itu susah. Aku gak mau jadi orang kecil!"

Dan untuk pertama kalinya juga aku mengambil keputusan terbesar dalam hidupku. Saat itu aku benar benar gelap mata, kupikir pergi adalah jalan terbaik untukku. Tepat pukul tiga pagi aku bergegas pergi dari rumah sebelum ibu bangun dari tidurnya, dengan meninggalkan sepucuk surat untuk ibu. Tekadku benar benar bulat, aku harus menjadi orang yang besar. Berbekal uang tabunganku selama aku sekolah. Aku pergi ke kota dengan menaiki kereta kelas ekonomi.

Beruntung aku memiliki jaringan yang luas. Sekiranya ada empat temanku yang bertempat tinggal di kota. Ini sangat menakutkan sebenarnya. Harus menaiki kereta sendirian dan pergi ke kota orang lain. Hanya saja demi pembuktian pada Bapak aku harus bisa melewati batu sandungan yang tidak kecil ini.

Saat sampai di kota, masa itu aku benar benar linglung, tidak tahu harus melakukan apa dan harus bagaimana. Beruntung temanku sangat baik dengan memperbolehkanku menumpang di rumahnya. Demi menjadi manusia, selama satu tahun di kota aku memutuskan untuk bekerja sebagai pelayan tokoh. Lumayan untuk menghidupiku dan tabungan biaya kuliah.

Tuhan memberkatiku dengan otak yang cerdas, aku bersyukur karena itu. Satu tahun kemudian aku berhasil masuk di salah satu Universitas ternama di kota. Cukup membanggakan memang, tapi tetap saja rasanya ada satu bagian kosong di hati yang menganga lebar. Aku tidak tahu keadaan di desa. Apa ibu sehat atau apakah Bapak bisa ceria seperti biasa. Tapi aku yakin, mereka tidaklah sedang baik baik saja. Tapi biarlah kita sama sama berjuang, aku berjuang untuk menjadi manusia, dan mereka berjuang untuk mendoakanku.

Tuhan adalah maha melihat, dan tuhan selalu melihat perjuanganku selama tujuh tahun di kota. Lulus kuliah dengan IPK tinggi, mendapat pekerjaan menjadi seorang psikiater di rumah sakit ternama, dan membangun sekolah untuk anak anak disabilitas adalah sebuah capaian yang tinggi bagi banyak orang. Tapi entah mengapa rasanya selalu ada yang kosong. Semuanya semu, seperti terjebak di lorong tak berujung. Ada rasa sakit yang tidak bisa di lepas. Mungkin benar kata Windis temanku, aku memang harus berdamai.

"Kamu tidak akan menjadi manusia saat kamu menolak untuk berdamai. Berdamai adalah jalan terbaik untuk menjadi manusia. Berdamailah dulu dengan dirimu. Terima semuanya, ikhlaskan. Tuhan sudah begitu baik dengan kamu. Berdamailah dengan masa lalu. Sudahi semua omong kosong ini. Sebelum Tuhan mengambil paksa apa yang berarti dalam hidupmu" nasehat Windis padaku.

Setelah sekian tahun, rasanya asing saat menginjak tanah kelahiranku lagi. Tapi sudah saatnya, menutup kembali luka yang menganga lebar. Entahlah, tapi rasanya tidak sanggup untuk sekedar mengetuk pintu. Benar benar pengecut. Mungkin masih belum, aku akan kembali lain waktu.

"Nduk! Itu kamu nduk! Itu kamu?! Ya Tuhan ini benar benar kamu nduk. Terimakasih tuhan. Terimakasih. Bapak anak kita pulang pak. Kemari pak!. Ya Tuhan nduk ini benar benar kamu nduk?! Ibuk rindu nduk" teriak ibu sembali memelukku dan menangis tersedu sedu.

"Nduk?..." suara itu.

"Ini kamu? Maafkan bapak nduk. Maafkan bapak. Bapak bukan orang tua yang baik. Bapak.. Bapak benar benar malu sama kamu nduk. Bapak sudah... Maafkan bapak nduk" ya Tuhan apa yang sudah kulakukan, sakit sekali rasanya melihat kedua orang tuaku serapuh ini.

"Berhenti meminta maaf pak, ini bukan salah siapapun. Ini takdir, takdir yang membuat kita terpisah sementara. Memberi kita pelajaran berarti tentang hidup dan saling menghargai. Maafkan aku, aku memang anak yang keras kepala," kataku sembari tertunduk menyesal.

"Bukan salah siapa siapa nduk. Ingat, ini sudah takdir. Ibu dan bapak tidak akan pernah bisa menyalahkanmu" lihat, betapa hebatnya hati kedua mereka. Bagiku mereka adalah dua insan terbaik Tuhan.

Saat itu aku sadar, semua ada hikmahnya. Tuhan dengan segala kehendaknya adalah sutradara terbaik di dunia ini. Manusia hanyalah bagian terkecil yang kebetulan menjadi pemeran di dalam naskah. Benar kata bapak, semakin orang mengenal sesuatu semakin ia mengenal Tuhan pula.

"Tanpa penjelasan secara teori kamu tahu kenapa bumi itu bulat tapi laut tidak pernah tumpah? Kamu tahu kenapa dari jarak 2 kilo bumi dengan langit seakan bersentuhan? Tapi saat kita hampiri, bumi dengan langit tidaklah bersentuhan. Kamu tahu nduk?" tanya bapak.

"Ya tidak tahu pak" jawabku waktu itu.

"Ya karena kuasa Tuhan nduk. Semakin kamu mempelajari suatu hal kamu akan semakin Lillah nduk. Kamu akan semakin 'kok bisa ya?' 'kenapa ya?' hingga kamu tidak menemukan jawannya. Dan akan berkata 'hanya Tuhan yang tahu'. Kodrat manusia hanya terbatas untuk mengetahui suatu hal nduk. Yang Maha Tahu hanyalah Tuhan. Ikuti alurnya, jangan terlalu menentang arus. Walau kadang kala sekali kali kita perlu melawan arus," kata Bapak.

Aku tahu, tidak semua yang di katakan Bapak adalah benar. Tapi, Bapak berani berbicara sebab pernah mengalami, dan aku akan selalu menjadikan perkataannya sebagai pengingatku. Kini aku tahu, masalah bukanlah suatu hal yang menakutkan, tapi masalah adalah cara Tuhan untuk mendewasakan manusianya.